Masyarakat Bali khususnya
yang memeluk agama Hindu dalam keseharian melakukan berbagai ritual keagamaan
tidak terlepas dari penggunaan daya intelektual dari tattwa (filsafat), dan
susila (etika) ajaran Hindu untuk bersikap korektif terhadap pelaksanaan
tradisi dan ritual yang sekarang ini cenderung menampilkan kemegahan. Ritual
sejatinya sebagai sarana untuk mewujudkan kesatuan umat atau pemeluknya dalam
kebersamaan. Upacara agama dapat menciptakan suatu adat- istiadat yang mengikat
untuk membina kerukunan masyarakat serta memecahkan segala permasalahan sosial
yang timbul akibat interaksi antar dan inter umat beragama, disamping itu
upacara agama menciptakan kemakmuran dan peluang pasar.
Dari segi spiritual
setiap pelaksanaan ritual agama Hindu selalu dikaitkan dengan hari-hari
tertentu, misalnya pada saat pertemuan sasih
atau bulan dan wewaraan tujuan dari
pelaksanaan ritual agama Hindu tiada lain agar tercapainya suatu keselarasan
antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam pelaksanaan ritual keagamaan di Bali,
khususnya dalam pelaksanaan bhuta yadnya biasanya disertai dengan perang sata,
yang dalam masyarakat Bali lebih dikenal dengan tabuh rah.
Segala ritual keagamaan
di Bali dibalut oleh kebudayaan Bali sebagai lokal genius dimana agama Hindu
berkembang. Ritual yang masih bertahan sampai saat ini di tengah modernisasi
adalah tabuh rah. Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang
dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dasar-dasar penggunaan
tabuh rah tercantum di dalam prasasti Bali kuno dan lontar-lontar antara lain:
1.
Prsasti Batur Abang A I, tahun 933 saka
yang berbunyi antara lain :
“……… mwang yan
pakaryyarkaryya, masangakunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan,
ithaninnya, tan pamwita tan pawwta ring nayakan saksi……”
Artinya :
“………. Lagi pula bila mengadakan
upacara-upacara misalnya tawur kesanga patutlah mengadakan
sabungan ayam tiga sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin membawa (memberitahukan) kepada yang berwenang………”
sabungan ayam tiga sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin membawa (memberitahukan) kepada yang berwenang………”
2.
Prasasti Batuan yang berangka tahun 944
saka yang berbunyi antara lain :
“……. Kunang yan
manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka
saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli……”
Artinya :
“…….. adapun bila mengadu ayam di tempat
suci dilakukan tiga sehet (babak) tidak meminta ijin kepada yang berwenang dan
juga kepada pengawas sabungan tidak dikenai cukai…..”
3.
Lontar Siwa Tattwapurana yang berbunyi
antara lain :
“ muah ring
tileming kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhdyapada magawe tawur
kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang kala
dasa bhumi, yanora samangkana rug ikang ning Madhyapada”
Artinya :
Lagi pula pada tilem kesanga aku (Dewa
Siwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat masing-masing
lalu adakan pertarungan ayam dan Nyepi sehari,
(ketika) itu beri korban (hidangan) Sang Kala Dasa Bhumi, jika tidak celakalah
manusia di bumi….”
4.
Lontar Yajna Prakerti yang berbunyi
antara lain :
“….. rikalaning
reya-reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang ilung
parahatan saha upakara dena jangkep….”
Artinya :
“…. Pada waktu hari raya, diadakan
pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga, patutlah mengadakan pertarungan
tiga sehet (babak) lengkap dengan
upakaranya…”
Dalam
prasasti dan lontar tersebut jelas dinyatakan bahwa fungsi dari tabuh rah
adalah runtutan/rangkaian upacara agama (yadnya) yang pelaksanaannya dilakukan
di tempat upacara dan maksimal dilakukan sebanyak tiga sehet (babak) tampa disertai taruhan apapun, adapun
dilakukannya tiga sehet (babak) mengandung makna sebagai lambang dari
permulaan, tengah dan akhir dan perang sebagai simbol dari pada perjuangan
antara dharma dan adharma. Pelaksanaan tabuh rah juga diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu telur, adu kelapa, andel-andel
beserta upakaranya oleh sang yajamana dengan berpakaian upacara.
Namun dewasa
ini dalam tabuh rah mengalami suatu penyimpangan dimana awalnya tabuh rah hanya
dilakukakan maksimal sehet (babak) dan tampa disertai taruhan tapi kini sering
terjadi tabuh rah dijadikan sebagai ajang perjudian yang dalam masyarkat lebih
dikenal dengan nama tajen. Tradisi
tajen sudah mendarah daging dalam masyarakat, hal ini dibuktikan ditengah
modernisasi tajen masih mempunyai tempat dalam masyarakat Bali. Tajen dipandang
berperan sebagai medium interaksi dan komunikasi lintas strata sosial dan tajen
juga digelar dalam kaitan pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat.
Tajen yang mulanya dianggap berasal dari upacara
tabuh rah, telah berdiri sendiri menjadi satu konstruksi budaya yang tanpa
disadari masyarakat Bali terjebak dalam konstruksi nilai yang bertentangan
dengan hakikat nilai yang sebenarnya dianut oleh masyarakat Hindu-Bali. Oleh
karena itu, pemerintah melarang adanya tajen di Bali, karena secara tidak
langsung tajen merupakan suatu perjudian yang dilarang dan telah diatur dalam
uu no. 7 tahun 1974 dan KUHP pasal 303 (ayat 3). Dalam perspektif hukum positif,
kegiatan apapun yang mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa
uang, maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi
lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah bayangan dari tabuh rah dianggap
sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut dijunjung tinggi,
dihormati dan tentu saja dilestarikan.
Pada
akhirnya tajen dan tabuh rah dikembangkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan walaupun sebenarnya mereka berada pada nilai yang berbeda.
Saat ini penyelengaraan tajen biasanya akan dikaitkan dengan kegiatan tabuh rah
pada odalan atau upacara di pura-pura. Tajen diselenggarakan diluar area suci
pada tempat khusus dengan waktu pelaksanaan sekitar tiga hari berturut-turut.
Pada beberapa tempat di Bali, kegiatannya dikoordinir oleh lembaga adat. Mereka
yang datang untuk menikmati hiburan ini biasa disebut bebotoh yang berarti
petaruh. Para bebotoh bisa datang dari seluruh penjuru Bali tergantung besarnya
ajang tajen yang diselenggarakan.