Tuesday, 21 April 2015

Tabuh rah dan Tajen




Masyarakat Bali khususnya yang memeluk agama Hindu dalam keseharian melakukan berbagai ritual keagamaan tidak terlepas dari penggunaan daya intelektual dari tattwa (filsafat), dan susila (etika) ajaran Hindu untuk bersikap korektif terhadap pelaksanaan tradisi dan ritual yang sekarang ini cenderung menampilkan kemegahan. Ritual sejatinya sebagai sarana untuk mewujudkan kesatuan umat atau pemeluknya dalam kebersamaan. Upacara agama dapat menciptakan suatu adat- istiadat yang mengikat untuk membina kerukunan masyarakat serta memecahkan segala permasalahan sosial yang timbul akibat interaksi antar dan inter umat beragama, disamping itu upacara agama menciptakan kemakmuran dan peluang pasar.
Dari segi spiritual setiap pelaksanaan ritual agama Hindu selalu dikaitkan dengan hari-hari tertentu, misalnya pada saat pertemuan sasih atau bulan dan wewaraan tujuan dari pelaksanaan ritual agama Hindu tiada lain agar tercapainya suatu keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam pelaksanaan ritual keagamaan di Bali, khususnya dalam pelaksanaan bhuta yadnya biasanya disertai dengan perang sata, yang dalam masyarakat Bali lebih dikenal dengan tabuh rah.
Segala ritual keagamaan di Bali dibalut oleh kebudayaan Bali sebagai lokal genius dimana agama Hindu berkembang. Ritual yang masih bertahan sampai saat ini di tengah modernisasi adalah tabuh rah. Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dasar-dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam prasasti Bali kuno dan lontar-lontar antara lain:
1.      Prsasti Batur Abang A I, tahun 933 saka yang berbunyi antara lain :
“……… mwang yan pakaryyarkaryya, masangakunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita tan pawwta ring nayakan saksi……”

           
Artinya :
“………. Lagi pula bila mengadakan upacara-upacara misalnya tawur kesanga patutlah mengadakan
sabungan ayam tiga sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin membawa (memberitahukan) kepada yang berwenang………”

2.      Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 saka yang berbunyi antara lain :
“……. Kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli……”
Artinya :
“…….. adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan tiga sehet (babak) tidak meminta ijin kepada yang berwenang dan juga kepada pengawas sabungan tidak dikenai cukai…..”

3.      Lontar Siwa Tattwapurana yang berbunyi antara lain :
“ muah ring tileming kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhdyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang kala dasa bhumi, yanora samangkana rug ikang ning Madhyapada”
Artinya :
Lagi pula pada tilem kesanga aku (Dewa Siwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat masing-masing lalu adakan pertarungan ayam  dan Nyepi sehari, (ketika) itu beri korban (hidangan) Sang Kala Dasa Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi….”

4.      Lontar Yajna Prakerti yang berbunyi antara lain :
“….. rikalaning reya-reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang ilung parahatan saha upakara dena jangkep….”



Artinya :
“…. Pada waktu hari raya, diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga, patutlah mengadakan pertarungan tiga sehet (babak)  lengkap dengan upakaranya…”
            Dalam prasasti dan lontar tersebut jelas dinyatakan bahwa fungsi dari tabuh rah adalah runtutan/rangkaian upacara agama (yadnya) yang pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara dan maksimal dilakukan sebanyak tiga sehet (babak)  tampa disertai taruhan apapun, adapun dilakukannya tiga sehet (babak) mengandung makna sebagai lambang dari permulaan, tengah dan akhir dan perang sebagai simbol dari pada perjuangan antara dharma dan adharma. Pelaksanaan tabuh rah juga diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu telur, adu kelapa, andel-andel beserta upakaranya oleh sang yajamana dengan berpakaian upacara.
            Namun dewasa ini dalam tabuh rah mengalami suatu penyimpangan dimana awalnya tabuh rah hanya dilakukakan maksimal sehet (babak) dan tampa disertai taruhan tapi kini sering terjadi tabuh rah dijadikan sebagai ajang perjudian yang dalam masyarkat lebih dikenal dengan nama tajen. Tradisi tajen sudah mendarah daging dalam masyarakat, hal ini dibuktikan ditengah modernisasi tajen masih mempunyai tempat dalam masyarakat Bali. Tajen dipandang berperan sebagai medium interaksi dan komunikasi lintas strata sosial dan tajen juga digelar dalam kaitan pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat. Tajen yang mulanya dianggap berasal dari upacara tabuh rah, telah berdiri sendiri menjadi satu konstruksi budaya yang tanpa disadari masyarakat Bali terjebak dalam konstruksi nilai yang bertentangan dengan hakikat nilai yang sebenarnya dianut oleh masyarakat Hindu-Bali. Oleh karena itu, pemerintah melarang adanya tajen di Bali, karena secara tidak langsung tajen merupakan suatu perjudian yang dilarang dan telah diatur dalam uu no. 7 tahun 1974 dan KUHP pasal 303 (ayat 3). Dalam perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang, maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah bayangan dari tabuh rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja dilestarikan.
Pada akhirnya tajen dan tabuh rah dikembangkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan walaupun sebenarnya mereka berada pada nilai yang berbeda. Saat ini penyelengaraan tajen biasanya akan dikaitkan dengan kegiatan tabuh rah pada odalan atau upacara di pura-pura. Tajen diselenggarakan diluar area suci pada tempat khusus dengan waktu pelaksanaan sekitar tiga hari berturut-turut. Pada beberapa tempat di Bali, kegiatannya dikoordinir oleh lembaga adat. Mereka yang datang untuk menikmati hiburan ini biasa disebut bebotoh yang berarti petaruh. Para bebotoh bisa datang dari seluruh penjuru Bali tergantung besarnya ajang tajen yang diselenggarakan.