Wednesday, 29 April 2015

Yama dalam Astangga Yoga



Ada banyak jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Jalan yang berbeda-beda itu tampakanya memiliki tujuan yang sama yaitu sebuah penyatuan tertinggi antara Atman dengan Brahman. Salah satu jalan yang dapat digunakan oleh manusia adalah yoga. Yoga secara harfiah berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki arti menyatukan atau menghubungkan diri dengan Tuhan. Yoga juga berarti pengekangan gelobang-gelombang otak dan focus kehadapan sang pencipta. Yoga sendiri dipelopori oleh seorang maharsi yang bernama maharsi patanjali, maharsi patanjali mengajarkan yoga dilaksanakan dengan delapan tahap yang disebut dengan astangga yoga.
Bagian-bagian astangga yoga yaitu:
1.      Yama
Kontrol etis, perlakuan kita terhadap faktor eksternal dalam kehidupan

Tuesday, 21 April 2015

Sinopsis Ramayana






SAPTA KANDA RAMAYANA
            Ramayana merupakan salah epos yang menceritakan riwayat perjalanan Rama atau yang sering di kenal dengan gelar Ramadewa, Rama sebagai tokoh utama dalam epos tersebut adalah salah satu penjelmaan Dewa Wisnu yang di sebut sebagai Awatara Wisnu yang ke tujuh. Kitab Ramayana ditulis oleh maharsi walmiki yang diperkirakan selesai ditulis tahun 500 SM. Di duga ceritanya telah popular 3100 SM. Oleh karena ceritanya yang sangat menarik, penuh idealisme, pendidikan moral dan kepahlawanan serta dibawakan dengan gaya Bahasa yang baik, menyebabkan Ramayana menjadi sebuah epos yang banyak dipelajari diseluruh dunia, pengaruhnya tersebar hampir di seluruh asia dan dipahatkan sebagai hiasan candi.
             Keahlian Maharsi Walmiki adalah memahami perasaan manusia secara mendalam, walaupun dalam penggambarannya beliau lebih banyak mempergunakan ragam bahasa. Penggambaran social budaya, kondisi politik dan pemerintahan pada masa itu sangat jelas kepada kita. Demikian pula masalah-masalah yang umum dihadapi oleh manusia maupun oles suatu bangsa semua itu digambarkan dalam Ramayana seolah-olah benar-benar hidup.
            Di Indonesia Ramayana digubah menjadi bentuk kekawin yang ditulis dengan bahasaa

Tabuh rah dan Tajen




Masyarakat Bali khususnya yang memeluk agama Hindu dalam keseharian melakukan berbagai ritual keagamaan tidak terlepas dari penggunaan daya intelektual dari tattwa (filsafat), dan susila (etika) ajaran Hindu untuk bersikap korektif terhadap pelaksanaan tradisi dan ritual yang sekarang ini cenderung menampilkan kemegahan. Ritual sejatinya sebagai sarana untuk mewujudkan kesatuan umat atau pemeluknya dalam kebersamaan. Upacara agama dapat menciptakan suatu adat- istiadat yang mengikat untuk membina kerukunan masyarakat serta memecahkan segala permasalahan sosial yang timbul akibat interaksi antar dan inter umat beragama, disamping itu upacara agama menciptakan kemakmuran dan peluang pasar.
Dari segi spiritual setiap pelaksanaan ritual agama Hindu selalu dikaitkan dengan hari-hari tertentu, misalnya pada saat pertemuan sasih atau bulan dan wewaraan tujuan dari pelaksanaan ritual agama Hindu tiada lain agar tercapainya suatu keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam pelaksanaan ritual keagamaan di Bali, khususnya dalam pelaksanaan bhuta yadnya biasanya disertai dengan perang sata, yang dalam masyarakat Bali lebih dikenal dengan tabuh rah.
Segala ritual keagamaan di Bali dibalut oleh kebudayaan Bali sebagai lokal genius dimana agama Hindu berkembang. Ritual yang masih bertahan sampai saat ini di tengah modernisasi adalah tabuh rah. Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dasar-dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam prasasti Bali kuno dan lontar-lontar antara lain:
1.      Prsasti Batur Abang A I, tahun 933 saka yang berbunyi antara lain :
“……… mwang yan pakaryyarkaryya, masangakunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita tan pawwta ring nayakan saksi……”

           
Artinya :
“………. Lagi pula bila mengadakan upacara-upacara misalnya tawur kesanga patutlah mengadakan

Monday, 20 April 2015

Apa Sih Fungsi Agama itu?


 
            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang relegius, sejarah membuktikannya bahwa sejak zaman  prasejarah bangsa indonesia sudah melaksanakan pemujaan kepada Tuhan atau roh-roh leluhur dan pelaksanaan pemujaan kepada Tuhan semakin terlihat ketika bangsa Indonesia sudah memasuki zaman sejarah yaitu sekitar abad keempat yang ditandai dengan  telah munculnya kerajaan Kutai di Kalimantan sampai berlanjut pada zaman kerajaan Majapahit di Jawa dengan corak keagamaannya adalah Hindu dan Budha.
            Keyakinan akan keberadaan Tuhan telah dimulai sejak nenek moyang kita sampai saat ini. Pelaksanaan pemujaan terhadap Tuhan dan banyaknya ditemukan bukti-bukti berupa punden berundak-undak, arca, dan candi tidak dapat dipungkiri lagi ini sebagai ciri-ciri dan bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang relegius. Walaupun bangsa Indonesia pernah dijajah tiga setengah abad oleh bangsa belanda kemudian bangsa jepang menjajah tiga setengah tahun namun masalah prilaku kehidupan beragama di indonesia masih hidup sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.
            Di negara Indonesia ada lima agama yang mendapat pengakuan yang sah dari pemerintah, agama-agama yang dimaksud adalah agama Hindu, agama Budha, agama Islam, agama Kristen Khatolik dan agama Protestan. Kelima agama tersebut memiliki hak dan kedudukan yang sama untuk berkembang di Indonesia, dan statusnya hukumnya dijamin oleh negara dan pemerintah Indonesia.
            Dalam UUD 1945 dikatakan bahwa negara menjamin setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, namun pemerintah tidak mencampuri hal-hal yang menyangkut materi ajaran dan tatacara peribadatan masing-masing agama tersebut.

Agama sebagai pengetahuan kerohanian yang menyangkut soal-soal rohani yang bersifat gaib dan methafisika secara esthimologinya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "A" dan "gam".  "a" berarti tidak dan "gam" berarti pergi atau bergerak. Jadi kata agama berarti sesuatu yang tidak pergi

Pura Luhur Gria Taman Sari


            Pulau Bali yang dikenal oleh dunia sebagai pulau seribu pura, sebutan itu tidaklah berlebihan karena pada pulau Bali terdapatnya banyak pura, baik pura besar ataupun pura kecil yang tersebar diseluruh wilayah Bali mulai dari pesisir pantai sampai pegunungan terdapat pura sebagai tempat memuja kemahakuasaan Ida Hyang Widhi Wasa Wasa. Terdapatnya banyak pura juga memberikan dampak menambah keindahan pulau Bali karena memiliki charisma dan daya tarik spiritual, hal ini disebabkan hampir setiap hari umat Hindu mempesembahkan yadnya kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, hal ini secara tidak langsung akan menambah kesan magis yang sangat spiritual sehingga banyak wisatawan yang berkunjung ke Bali dan kagum akan keindahan budaya Bali yang dibalut dengan system keagamaan Hindu yang kental.
            Sebagaimana yang disebutkan diatas pulau Bali memiliki ribuan pura yang tersebar diseluruh wilayah pulau Bali pura yang jumlahnya ribuan ini dibagi menjadi beberapa golongan, karena pada kenyataannya tidak semua pura merupakan tempat pemujaan bagi setiap orang, yang kemungkinan pura tersebut merupakan tempat pemujaan sekelompok orang/masyarakat yang menganggap dirinya tunggal sesuhunan/ penyungsungan (Soekomo : 1974 ; 310-311).
            Berdasarkan maasyarakat penyungsung pura di Bali pura daapat di klasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu :
1.      Pura Kawitan yaitu pura tempat pemujaan yang berdasarkan wit/asal karena faktor geneologis, misalnya : Sanggah/ Merajan, Dadya, Pura Ibu, Kawitan.
2.      Pura Swagina yaitu pura yang pemujaannya berkaitan dengan olah profesi yang sama dalam satu sistem mata pencaharian, misalnya : Pura Melanting, Pura Subak/Dugul
3.      Pura Kahyangan Tiga yaitu pura yang terdapat pada masing-masing desa pakraman yang penyungsungnya adalah warga masyarakat yang ada di wilayah desa pekraman tersebut, pura yang termasuk pura kahyangan tiga adalah : pura desa sebagai tempat memuja manifrestasi Ida Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Brahma, pura puseh sebagai tempat memuja manifrestasi Ida Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Wisnu dan pura dalem sebagai tempat memuja manifrestasi Ida Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Siwa.
4.      Pura Kahyangan Jagat yaitu pura umum sebagai tempat memuja Ida Hyang Widhi Wasa dalam segala manifrestasi-NYA.
Dari klasifikasi tersebut salah satu pura yang tergolong pura kahyangan jagat adalah Pura Luhur Gria Taman Sari yang terletak di banjar Apit yeh, desa bangli, kecamatan baturiti, kabupaten tabanan, Bali. Kendati Pura Luhur Gria Taman Sari tidak sepopuler kahyangan-kahyangan jagat agung seperti : Pura Lempuyang, Pura Besakih, Pura Batur, Pura Lempuyang dll, namun Pura Luhur Gria Taman Sari memiliki daya tarik spiritual dan keindahan alam pedesaan yang masih asri.
1
2.1  Karakteristik  Pura Luhur Gria Taman Sari

a.       Letak geografis Pura Luhur Gria Taman Sari
Pura Luhur Gria Taman Sari terletak di sebelah barat laut Dusun Apit yeh, Desa Bangli Kecamatan Baturiti, KabupatenTabanan – Bali. Pura tersebut tepat berada disebelah selatan Pura Pucak Padang Dawa yang berjarak kurang lebih 150 meter. Lingkungan alam sekitar pura berupa sawah dan ladang/lahan kering, sungai dan nampak dengan jelas barisan bukit yang menambah indahnya pemandangan di Pura Luhur Gria Taman Sari. Suasana pedesaan yang sangat kental terasa saat di pagi hari disaat dimana masyarakat banjar Apit yeh yang sebagian besar berprofesi sebagai petani berangkat ke sawah ataupun ke ladang, masyarakat menjalani kehidupan bertani bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup namun juga sebagai menjalankan swadharmanya sebagai manusia yang sangat berperan dalam menentukan hidup dan matinya bangsa ini. Kawassan di sekitar Pura Luhur Gria Taman Sari sangatlah subur dengan pengairan yg cukup setiap tahunnya sehingga cocok untuk sector pertanian dan perternakan terdapatnya bebatuan vulkanik yang muncul kepermukaan tanah, yang secara geografi menunjukan pertanda alam pegunungan, dimana bagi masyarakat Bali gunung dipandang sebagai tempat yang suci, sehingga menjadikan kesucian Pura Luhur Gria Taman Sari tetap terjaga.

Pengaruh Yuga dalam kehidupan



Bab I
Pendahuluan

Pada zaman sekarang banyak manusia sudah kehilangan jati dirinya sebagai makhluk ciptaan tuhan yang tertinggi. Manusia pada zaman sekarang cenderung menjadikan kepuasan hati sebagai tujuan utamanya. Pada zaman ini apabila manusia sudah dapat memenuhi segala sesuatu yang bersifat keduniawian baik itu berupa harta (kekayaan) ataupun tahta (kedudukan) maka puaslah orang tersebut. Banyaknya terjadi tindakan kriminalitas belakangan ini menjadi sesuatu yang wajar pada zaman sekarang, banyaknya tindakan tidak bermoral dan tidak beretika seakan menjadi hal biasa pada zaman ini. Terjadi kekacauan dimana-mana para petani menjerit dengan harga pupuk yang menjerit leher, para pedagang yang selalu merugi, para guru yang jarang dihormati oleh murid-muridnya dan pejabat banyak yang korupsi dan merugikan Negara namun masih bisa tersenyum bahagia di televisi seakan dari sabang sampai merauke berjajar para koruptor. Semua kekacauan terjadi karena manusia menjadikan kepuasan hati sebagai tujuan utamanya, tidak peduli melalui jalan apa merek memperoleh kepuasan itu. Zaman yang penuh kekacauan atau kegelapan dalam ajaran agama Hindu disebut dengan zaman Kali Yuga. Zaman Kali Yuga merupakan salah satu dari empat zaman menurut agama Hindu, yang disebut catur yuga : yaitu Krta Yuga/Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keempat zaman tersebut dapat mempengaruhi kehidupan manusia itu sendiri.


Bab II
Pembahasan

Kehidupan didunia ini tidak bisa lepas dari pengaruh zaman, setiap zaman memiliki karakteristiknya sendiri, sehingga setiap perubahan zaman maka akan merubah karakteristik kehidupan itu sendiri. Dalam agama Hindu mengenal adanya 4 (empat) zaman yang disebut “Catur Yuga” yang terdiri dan : Krtayuga, Trta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Antara zaman satu dengan zaman lainnya mengalami sebuah siklus yang diawali dengan  Krta Yuga/Satya Yuga merupakan tahap awal dari empat (catur) Yuga. Siklus Yuga merupakan siklus yang berputar seperti roda.